UNTUX FOREX MT4

Sabtu, 11 September 2010

pasal 4(2) vs pasal 23 atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi

Beberapa klien aku terutama yang bergerak di bidang jasa konstruksi maupun penerima jasa atas konstruksi, selalu bertanya apakah atas jasa yang dimaksud dikenakan pasal 4 ayat 2 final atau pasal 23?

Nah untuk jelasnya supaya tidak rancu kita lihat peraturannya

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah 40 Tahun 2009 tentang “PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI” dijelaskan bahwa Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.

Pelaksunaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).

Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang memerlukan layanan jasa konstruksi.

Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.

Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.

Simplenya sih definisi pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

Dijelaskan juga dalam Pasal 3 bahwa penghasilan dari jasa konstruksi dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif:

2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;

3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan

6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

PPh final tersebut wajib dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.

Yang termasuk dalam pemotong pajak PPh 4(2) Final adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan.

Lebih lanjut, sesuai dengan PMK 244/PMK.03/2008 dijelaskan bahwa jasa perawatan/ perbaikan/ pemeliharaan mesin peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan dipotong PPh 23 sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. Apabila dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya bukan di bidang konstruksi dan tidak mempunyai ijin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.

Rancunya di : yang satu Peraturan Pemerintah satunya lagi Peraturan Menteri Keuangan.

Dari peraturan-peraturan terkait tersebut dapat disimpulkan bahwa seharusnya perusahaan konstruksi ya harusnya dipotong PPh 4(2)Final oleh pengguna jasa.

Tapi berhubung “mungkin ada tax planning, tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu” karena peraturannya juga bentrok, ya wajib pajak tentunya milih yang paling kecil dunk yaitu sebesar 2% dari pada tidak ada^^ , terutama pada yang tidak punya izin kualifikasi usaha.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Manajemen Pajak

Pemilihan aset dalam penggabungan usaha

Untuk pemilihan aset dalam penggabungan usaha, aspek perpajakan berpengaruh terhadap penentuan metode apa yang akan dipakai dalam penggabungan usaha selain dengan menggunakan pertimbangan hukum, termasuk didalam hal perolehan keuntungan atas dividend dan capital gain. Perlu diketahui bahwa pasal 4 ayat 1 huruf d angka 1 Undang-Undang Perpajakan No. 36 Tahun 2008, menyebutkan bahwa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah salah satu objek pajak.

Kemudian Pasal 10 ayat 3, Undang-undang Pajak Penghasilan No. 10 Tahun 1994 mengatur tentang dasar pengenaan pajak atas penggabungan usaha. Pasal ini mengatur bahwa:
"Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar (market price), kecuali ditetapkan lain oleh menteri keuangan ".

Apabila mengacu pada peraturan pajak ini berarti bisa diambil suatu kesimpulan bahwa penggabungan usaha yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan adalah dengan menggunakan metode purchase(metode pembelian), yang menilai aset berdasarkan harga pasar bukan menggunakan metode pooling of interest (metode penyatuan kepentingan), yang menilai aset berdasarkan nilai sisa buku.

Meskipun demikian seperti yang dikatakan dalam pasal 10 ayat 3 bahwa dasar penilaian lain dimungkinkan, dalam hal ini menggunakan metode pooling of interest dengan terlebih dahulu meminta izin kepada menteri keuangan. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2008 pasal 1 bahwa :
1. Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.
2. Merger sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Direktorat Jenderal Pajak memutuskan untuk tidak memperbolehkan penggunaan metode pooling of interest dalam rangka penggabungan usaha. Jawabannya tidak lain bahwa dengan pooling of interset, tidak ada pajak yang dibebankan atas penggabungan usaha tersebut, lain halnya apabila menggunakan metode purchase yang berdasarkan pada nilai pasar.

Contoh di bawah akan dipergunakan untuk memperjelas perbedaan antara kedua metode tersebut dari sisi pengenaan pajak penghasilan.
Pada metode purchase nilai buku aktiva (book value) dari PT X adalah Rp 750.000.000, sedangkan nilai wajar atau nilai pasarnya (market price) sebesar Rp 1.200.000.000, maka ada penghasilan sebesar Rp 450.000.000 yang timbul sebagai akibat adanya selisih antara nilai wajar (market price) dengan nilai buku (book value), Penghasilan inilah yang merupakan objek pajak penghasilan.
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Perpajakan No. 36 Tahun 2008 bahwa: “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun” Selanjutnya huruf d angka 3 dari pasal 4 ini menyebutkan bahwa salah satu yang termasuk objek pajak adalah “Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha” Jadi keuntungan yang diperoleh oleh PT Y yang disebabkan karena penggabungan usaha dengan cara melakukan pembelian aset milik PT X adalah merupakan objek pajak.
Sedangkan dasar pengenaan pajak untuk perusahaan yang melakukan penggabungan usaha atas dasar metode pooling of interest. Seperti telah dijelaskan di atas, metode pooling of interest menggunakan nilai buku sebagai dasar dalam pengalihan harta dari penggabungan perusahaan. Dengan ini berarti bahwa penggabungan perusahaan dengan metode pooling of interest, sama sekali tidak menghasilkan pengasilan kena pajak, karena penggabungan tersebut didasarkan atas nilai buku dari kedua perusahan, dan bukan berdasarkan suatu penilaian kembali atau nilai pasar.

Dalam model yang disederharnakan seperti yang disajikan dalam gambar dibawah terlihat bahwa Keputusan Menteri Keuangan yang berkaitan dengan penggunaan nilai buku, pada akhirnya tetap menggiring wajib pajak menuju kepada pengenaan pajak atas capital gain yang timbul akibat penggabungan usaha, walaupun sudah disetujui Ditjen Pajak menggunakan nilai buku.



Kesimpulan

Dalam Tax planning sebagai bagian dari manajemen pajak tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kewajiban pajak dengan benar dengan membayar pajak dengan jumlah yang dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Dengan demikian agar dikemudian hari tidak terjadi restitusi pajak atau kurang bayar yang mengakibatkan denda dan kewajiban-kewajiban hukum lainnya.

Jika dilihat dari aspek ekonominya maka metode pooling of interest mempunyai keunggulan dari segi perpajakan, karena transaksi yang terjadi tidak dapat dipandang sebagai obyek pajak dan tidak dianggap sebagai suatu bentuk investasi. Dalam metode purchase keuntungannya adalah karena setelah penggabungan usaha, laporan keuangan yang mengakuisisi akan mencerminkan hasil usaha gabungan sejak terjadinya penggabungan.
Laba ditahan perusahaan yang diakuisisi dianggap sebagai laba ditahan perusahaan gabungan. Selain itu terjadi pula penambahan asset dari perusahaan yang diakuisisi.

Jumat, 07 Mei 2010

PRAKTEK TRANSFER PRICING & ASPEK PAJAK

Praktek transfer pricing dulunya hanya dilakukan oleh perusahaan semata-mata hanya untuk menilai kinerja antar anggota atau divisi perusahaan yaitu untuk meningkatkan daya saing perusahaan anak yaitu dengan memperbaiki akses perusahaan anak ke dalam pasar modal lokal, laba dan posisi keuangan bisa dinaikkan dengan menetapkan harga yang rendah bagi transfer input kepada perusahaan anak tersebut dan harga transfer yang tinggi bagi ouputnya.

Permasalahan

Permasalahannya ialah seiring dengan perkembangan zaman, praktek transfer pricing sering juga dipakai untuk manajemen pajak yaitu sebuah usaha untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus di bayar.

Bila diperhatikan secara lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati, oleh karena itu transfer pricing sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara karena laba sistem korporasi bisa ditingkatkan dengan menetapkan harga-harga transfer yang tinggi dan menetapkan harga-harga transfer yang rendah untuk memindahkan laba dari perusahaan anak yang berlokasi dalam negara-negara bertarif pajak rendah.

Praktek transfer pricing sendiri di Indonesia sudah banyak dilakukan oleh banyak perusahaan, hanya saja tidak terlalu terasa efek pengurang pajaknya apabila dilakukan antar divisi dalam satu perusahaan yang sama sehingga timbul pertanyaan mengapa transfer pricing tidak terlalu berarti dari sisi pajak apabila dipraktekkan dalam divisi yang sama. Hal ini disebabkan karena transfer pricing akan memberikan hasil yang maksimal dalam hal ini meminimalkan jumlah pajak yang terutang, apabila timbul pengenaan tarif yang berbeda dan adanya hubungan istimewa.

Pengenaan tarif yang berbeda dapat terjadi apabila suatu perusahaan memiliki anak perusahaan di luar negeri, terutama yang berkedudukan di Tax heaven countries (Negara yang tidak memungut pajak/ memungut pajak lebih rendah dari Indonesia) dan adanya hubungan istimewa dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atas dasar pengenaan pajak dan atau biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya yang dapat di rekayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.

Solusi

Untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak dengan cara transfer pricing, antara lain yaitu melalui penentuan harga yang tidak wajar (non arm’s legth price). Dalam perundang-undangan perpajakan telah terdapat ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya memberikan wewenang kepada aparat pajak untuk melakukan koreksi terhadap transaksi-transaksi yang tidak wajar dengan pihak lain yang mempunyai hubungan istimewa seperti yang tertuang pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang perpajakan No. 11 tentang pajak pertambahan nilai yang juga mengatur tentang transaksi yang berhubungan dengan transfer pricing. Pasal ini berbunyi : dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa kena pajak itu dilakukan.

Kesimpulan

Adanya hubungan istimewa merupakan kunci dari dilakukannya praktek transfer pricing dalam bidang perpajakan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan ditentukannya kembali besarnya jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan multinasional yang notabene mempunyai anak perusahaan / beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang ditenggarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat dicegah. (Handsen and Mowen , Management Accounting, 1996 : 543)